Toxic Positivity – Sebagai manusia biasa yang memiliki beragam perasaan di dalam hati, sangat lumrah apabila kita merasa sedih, kesal, atau bahkan marah. Namun, tidak semua orang memahami hal tersebut. Mereka selalu berharap kita mengabaikan perasaan negatif tersebut dan berusaha bersikap positif. 

Meskipun kelihatannya baik, sikap yang ditunjukan tersebit ternyata bukan sesuatu yang dapat diapresiasi. Dari hal semacam inilah muncul istilah toxic positivity.

Baca juga: Berani Memulai! Simak Panduan & Tips Investasi Milenial untuk Masa Depan Ini

Apa itu Toxic Positivity

Untuk lebih memahami tentang apa itu toxic positivity, mari kita membahas sebuah contoh kasus. Almira adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak balita. Saat sedang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dia kerap meninggalkan kedua balita tersebut sendiri hingga mereka sering bertengkar.

Pada suatu waktu, Almira pernah didatangi petugas PLN karena listriknya menunggak seminggu. Padahal tugas membayar rekening listrik adalah tugas suaminya yang bekerja di luar rumah. Belum selesai masalah listrik, tiba-tiba Almira mendengar kabar bahwa Ibundanya sakit di kampung dan membutuhkan banyak biaya.

Di saat sedang berpikir bagaimana cara membantu ibunya dari sisa uang belanja yang disimpan selama ini, salah satu anak Almira jatuh dari meja karena bermain dengan kakaknya sendiri tanpa pengawasan. Peristiwa bertubi-tubi tersebut membuat Almira stres dan mengungkapkan rasa kesalnya pada suami saat suaminya pulang.

Bukannya memberi solusi atau dukungan, suaminya hanya berkata kalimat toxic positivity seperti, “Jangan ngeluh, kamu masih enak setiap hari di rumah dan tidak perlu bertemu bos kayak aku. Kamu harus bersyukur, di kampung Ibumu masih ada keluarga untuk membantu. Ibuku waktu flu kemarin berjuang sendiri sampai sembuh. Hidup kita ini lumayan, gaji suamimu UMR. Masalah listrik setelah ini juga beres.”

Ilustrasi di atas merupakan contoh toxic positivity. Secara umum, toxic positivity merupakan sikap yang membujuk seseorang untuk selalu berpikir dan melakukan hal-hal positif tanpa mempedulikan betapa rumit dan buruknya kondisi orang tersebut. 

Jadi meskipun terlihat memberi nasihat, kata-kata yang dikeluarkan orang-orang semacam itu cenderung menyakitkan atau bahkan membuat yang mendengar tersinggung dan semakin terpuruk.

Beberapa ciri-ciri orang toxic positivity adalah:

Alasan Mengapa Toxic Positivity Itu Bermasalah

Sebenarnya, pemikiran positif palsu bisa berdampak membahayakan untuk seseorang yang sedang mengalami atau berjuang melalui masa sulit. Pasalnya, bukannya bisa berbagi emosi yang nyata dan mendapat dukungan dari teman maupun keluarga, perasaan yang mereka rasakan justru diabaikan dan dianggap tidak valid. Lalu, mengapa toxic positivity itu bermasalah?

1. Emosi yang Ditahan

Rasa positif palsu bisa membuat seseorang menahan emosi yang sebenarnya sedang dirasakan. Namun, kamu perlu tahu kalau emosi negatif yang ditahan atau dipendam bisa memicu terjadinya kecemasan, depresi, atau bahkan penyakit fisik, terlebih jika kamu menahan emosi tersebut terlalu lama tanpa tahu bagaimana cara mengeluarkannya. 

Jangan pernah takut untuk mengungkapkan emosi yang sedang dirasakan. Apakah kamu sedang marah, sedang kecewa, atau sedang sedih. Kamu bisa menunjukkan emosi tersebut secara verbal atau perilaku. Namun, pastikan kamu menyampaikannya dengan cara yang tepat. Misalnya, tidak memaki atau melampiaskan perasaan negatif pada orang lain.

2. Perasaan Malu

Alasan lainnya mengapa toxic positivity itu bermasalah adalah perasaan malu untuk mengakui adanya emosi negatif yang sedang dialami. Ketika seseorang mengalami hal buruk, sebenarnya mereka perlu tahu bahwa emosi yang dirasakan memang nyata. Seharusnya, mereka bisa merasa lebih lega dengan berbagi dengan teman dan keluarga mereka. 

Akan tetapi, toxic positivity justru secara tidak langsung memberi tahu orang-orang tersebut bahwa emosi yang sedang mereka rasakan tidak nyata, sehingga sering kali tidak dapat diterima. Akhirnya, mereka justru sering merasa bersalah jika sedang bersedih, kecewa, atau marah.

3. Menarik Diri dan Rentan Mengalami Masalah Interaksi dan Relasi Sosial

Ternyata, hubungan dengan diri sendiri sering kali menjadi tolok ukur dalam hubungan yang kamu miliki dengan orang lain. Jadi, kalau kamu saja tidak bisa jujur ​​tentang perasaan terhadap diri sendiri, lantas bagaimana kamu bisa memberikan ruang bagi orang lain untuk mengatakan apa yang mereka rasakan terhadap dirimu? 

Sayangnya, toxic positivity justru bisa membuat kamu kesulitan menjalani relasi dan interaksi dengan orang lain dan cenderung menarik diri. Bahkan, bukan tidak mungkin kamu juga mengalami kesulitan untuk menjadi diri sendiri. 

4. Menghambat Proses Pendewasaan Diri

Pemikiran positif palsu tidak hanya memungkinkan kamu menghindari perasaan yang mungkin menyakitkan, tetapi juga tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi emosi negatif yang muncul. Akhirnya, hal tersebut akan menghambat proses pendewasaan diri tentang bagaimana mengelola emosi negatif yang kamu rasakan.

Ciri-Ciri Toxic Positivity

1. Menghakimi

Orang dengan sifat toxic positivity memang biasanya cenderung menghakimi dan membuat orang yang sedang berkeluh kesah pada mereka merasa bersalah. Sikap menghakimi ini biasanya diungkapkan dengan kata-kata positif seperti, “Sabar ya, kamu juga sih yang baperan,” atau “Jangan ngeluh, kalau kamu gak kerja di situ kamu gak bakal dituduh macam-macam.”

2. Tidak Jujur

Mereka yang memiliki sifat ini juga cenderung tidak jujur pada diri sendiri. Mereka kerap menunjukkan sikap positif tetapi tidak rasional. Jadi sikap positif yang terlihat sebenarnya palsu. Padahal tidak semua masalah harus dihadapi secara positif saja, kita juga perlu menemukan solusi yang sesuai dan tepat.

3. Suka Membanding-bandingkan

Ciri terakhir orang toxic positivity adalah suka membanding-bandingkan. Ketika ada yang curhat, secara langsung mereka membandingkan masalah orang tersebut dengan orang lain lalu “memaksa” orang yang berkeluh kesah kapada mereka untuk bersikap positif. 

Meskipun terlihat memotivasi, tindakan tersebut tidak tepat. Tidak ada manusia yang suka dibanding-bandingkan karena masing-masing memiliki pengalaman hidup, kondisi mental, dan pola pikir berbeda. 

4. Orang yang Menunjukkan Emosi Negatifnya Dianggap Lemah 

Kamu punya teman yang menganggap bahwa menunjukkan kesedihan berarti ia adalah orang yang lemah? Ini merupakan ciri pertama dari pribadi yang suka menebarkan racun positive thinking. Tak hanya menganggap lemah, terkadang mereka juga bisa mempermalukanmu karena emosi negatif yang kamu rasakan. 

Kalau sudah begini, mending cari orang lain yang bisa berempati atas perasaan yang kamu rasakan. Pilihan lainnya adalah kamu bisa menghubungi seorang profesional untuk melakukan konseling. Terlebih lagi, sekarang sudah banyak tempat konseling yang membuka kelas online. 

Cara Menghadapi Toxic Positivity

Diakui atau tidak, kita hidup di lingkungan sosial dengan berbagai individu dan sifatnya masing-masing. Meskipun kecil peluangnya, tetapi setiap orang pasti memiliki teman, keluarga, atau kerabat yang memiliki toxic positivity. Hal ini tidak bisa dihindari, yang bisa dilakukan adalah menghadapi mereka dengan bijaksana.

Beberapa trik yang bisa dijadikan referensi adalah:

1. Memilih Team

Untuk menghindari serangan positive vibes, pilihlah teman yang sekiranya benar-benar bisa memberi solusi atau paling tidak mendengar keluh kesah kita tanpa menghakimi. Jadi seberat apapun masalah yang dialami, sebaiknya kita tidak sembarangan curhat sebab jika salah memilih teman berkeluh kesah, bukannya lega kita malah tersinggung dan merasa sakit hati akibat kalimat toxic positivity.

2. Tidak Mendengarkan Semua yang Diucapkan

Terkadang meskipun sudah dihindari, ada saja orang yang ingin tahu tentang masalah kita dan memberi nasihat tanpa diminta. Salahnya, nasihat tersebut seringkali terkesan menghakimi. Jika terpaksa harus bertemu orang semacam ini, jangan terlalu mendengarkan setiap kata yang dia ucapkan. Kalau perlu, jauhi mereka.

3. Memahami Bahwa Memiliki Pikiran Negatif adalah Hal Lumrah

Kita tidak bisa terus menerus menghindari atau mengontrol ucapan orang lain, begitu pula ucapan orang toxic positivity. Hal yang bisa dilakukan adalah mengubah pola pikir bahwa sah-sah saja saat kita merasa terpuruk dan memiliki pikiran-pikiran negatif. Hanya saja, jangan biarkan pikiran negatif itu terlalu lama singgah di pikiran.

Seiring berjalannya waktu, kita harus merangkul segala kejadian negatif dalam hidup dan memahami bahwa itu merupakan fase yang harus dilewati. Begitu bisa berdamai dengan keadaan dan memahami bahwa rasa sakit yang dialami tidak berlangsung lama, ucapan dari orang-orang toxic positivity tidak akan memberi banyak pengaruh.

Tips Mencegah Diri Menjadi Orang Positif yang Toksik 

Supaya tidak menjadi pihak yang gemar menyebarkan pikiran positif yang toksik kepada orang lain, berikut ini tips yang bisa dipraktikkan. 

1. Belajar Berempati

Respon seseorang saat menghadapi suatu masalah atau perasaan yang tidak enak pasti berbeda-beda. Ada yang bisa menjalaninya secara santai, ada juga orang yang butuh tempat mengadu hanya untuk melegakan perasaannya. 

Saat ada salah seorang teman yang datang kepadamu untuk curhat, sebaiknya jangan buru-buru untuk memberikan tanggapan. Cobalah untuk berempati pada emosi yang sedang ia rasakan, lalu dengarkan setiap detail cerita yang ia ungkapkan. 

Hindari berprasangka buruk saat temanmu bercerita. Jika ada hal yang bertentangan dengan pemikiranmu, alih-alih menuduh, kamu bisa melakukan konfirmasi. Hal ini bisa membuktikan bahwa kamu menyimak semua obrolannya dan memberikan minat pada ceritanya. 

2. Latih Kemampuan Mendengar Aktif 

Melatih diri untuk menjadi pendengar yang aktif memang tidak mudah. Karena setiap orang selalu punya keinginan untuk didengarkan. Meski begitu, memiliki keahlian mendengar aktif ternyata bisa dilatih, lho

Sebelum mendengarkan keluhan orang lain, pertama pastikan dulu bahwa kamu memiliki waktu luang dan sedang dalam perasaan yang baik-baik saja. Tujuannya supaya kamu bisa lebih fokus untuk menyimak ceritanya. 

Selagi ia cerita, sebaiknya tidak memotong ceritanya, apalagi mengadu nasib dengan orang lain atau bahkan mengalihkan topik. Terakhir, hanya memberi saran ketika lawan bicaramu meminta.  

3. Hidup Tidak Melulu Soal Perbandingan 

Maraknya penggunaan media sosial membuat individu zaman sekarang lebih sering membanding-bandingkan hidup satu orang dengan orang lain. Meski jamak terjadi, alangkah baiknya kalau kamu menghilangkan kebiasaan ini. Sebab, apa yang tampak di dunia maya belum tentu sama dengan kenyataan. 

Begitu pula ketika ada teman yang datang untuk berkeluh kesah. Jangan mudah membandingkan kondisinya, karena kita tidak benar-benar paham apa yang dialami dan dirasakannya. Bagi si pendengar, respons yang bentuknya membandingkan bisa membuatnya merasa lebih stres, benci, dan marah.

4. Realistis Terhadap Apa yang Dirasakan

Saat kamu menghadapi situasi stres atau emosi negatif lainnya, terima emosi tersebut dalam diri. Wajar adanya kalau kamu merasa sedih, stres, marah, khawatir, atau bahkan takut. Jangan pernah menaruh harapan terlalu tinggi, meski itu pada diri sendiri. Sebaliknya, fokuslah pada hal yang bisa kamu lakukan untuk mengatasi emosi negatif tersebut, sehingga kamu tidak merasakannya berlarut-larut.

5. Kenali Perasaan Diri Sendiri

Mengikuti akun media sosial yang “positif” terkadang bisa menjadi sumber inspirasi. Akan tetapi, coba perhatikan efeknya terhadap perasaan diri sendiri setelah kamu melihat dan berinteraksi dengan konten tersebut.

Jika kamu merasa malu atau bersalah setelah melihat unggahan konten yang “menyemangati”, bisa jadi kamu sedang mengalami toxic positivity. Dengan begitu, sebaiknya pertimbangkan untuk membatasi akses media sosial.

6. Berlatih untuk Mengelola Emosi Negatif Tanpa Menyangkalnya

Emosi negatif memang dapat menyebabkan stres jika tidak ditangani atau dikendalikan dengan baik. Namun, perasaan tersebut sebenarnya juga dapat memberikan informasi penting yang bisa membawa perubahan bermanfaat dalam hidup.

Jadi, solusi terbaik supaya bisa kamu lepas dari lingkungan dengan toxic positivity yang ketat adalah berlatih mengelola emosi negatif yang hadir tanpa pernah menyangkal atau menolak bahwa kamu sedang mengalaminya. 

7. Biarkan Diri Merasakan Banyak Emosi

Jika kamu sedang menghadapi suatu tantangan, kamu mungkin akan merasa gugup atau cemas tentang bagaimana dampaknya untuk masa depan. Di sisi lain, kamu memiliki harapan akan berhasil tanpa adanya kendala.

Ini berarti, kamu sedang merasakan ada banyak emosi yang hadir dalam diri dalam satu waktu. Mungkin terasa sangat rumit atau membingungkan, tetapi sebaiknya kamu tidak menolaknya. Biarkan saja dirimu merasakan banyak emosi, sehingga kamu bisa mengenali diri sendiri dengan lebih baik lagi.

Baca juga: Rekomendasi Podcast Self Improvement untuk Hidup yang Lebih Baik

Lantaran keberadaan mereka ini ‘beracun’, tak ayal memicu kejengkelan atau kekesalan orang di sekitarnya. Demi kebaikan diri sendiri, anda bisa menghindari orang toxic positivity itu melalui buku berjudul Toxic Positivity: Keeping it Real in a World Obsessed with Being Happy karya Whitney Goodman.

Selain dalam bentuk buku, Toxic Positivity: Keeping it Real in a World Obsessed with Being Happy juga hadir dalam versi Noicebook yang bisa kamu dengarkan melalui aplikasi Noice yang bisa kamu download di PlayStore atau App Store. Selain itu, Noicebook Toxic Positivity: Keeping it Real in a World Obsessed with Being Happy juga dapat kita dengarkan melalui web player Noice

Jadi, jangan lewatkan bab- bab menarik lain Toxic Positivity: Keeping it Real in a World Obsessed di Noice. Selamat mendengarkan!